Minggu, 23 Agustus 2009

http://forum.detik.com/archive/index.php/t-7475.html

Inilah tulisan dari KASAL kita yang baru
tulisannya bertentangan dengan tindakannya
dia merindukan kekuatan TNI tahun 65 yang mempunyai 12 kapal selam
tapi dia sendiri membatalkan pembelian kapal selam yang dirancang seniornya

coba ditanyakan ke dia SIGMA class yang dibeli udah lengkap senjatanya belum? sudah bukan jamanya lagi kita ngandelin meriam dan rudal jarak sangat dekat

Kejayaan Maritim
Rabu, 05/12/2007

Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudra” Penggalan syair lagu itu mengingatkan kebesaran Nusantara di masa lalu yang kini hilang. Tetapi betulkah nenek moyang kita pelaut?

Betulkah kita ini bangsa bahari? Betulkah karakter bangsa kita berwawasan maritim? Sebagai bangsa bahari, negeri ini seharusnya mempunyai visi kelautan, direfleksikan dengan pembangunan berwawasan bahari, termasuk dimilikinya armada laut (niaga dan militer) yang kuat.

Mari kita tengok masa keemasan Nusantara. Sejak abad ke-9 Masehi, bangsa Indonesia telah berlayar jauh dengan kapal bercadik.Mereka ke utara mengarungi lautan, ke barat memotong lautan Hindia hingga Madagaskar, ke timur hingga Pulau Paskah.Dengan kian ramainya arus pengangkutan komoditas perdagangan melalui laut, mendorong munculnya kerajaan-kerajaan di Nusantara yang bercorak maritim dan memiliki armada laut yang besar.

Kerajaan maritim terbesar di Nusantara diawali Kerajaan Sriwijaya (683–1030 Masehi). Petualang Tiongkok, I Tsing, mencatat, Shih Li Fo Shih (Sriwijaya) adalah kerajaan besar yang mempunyai benteng di Kotaraja,armada lautnya amat kuat. Guna memperkuat armada dalam mengamankan lalu lintas perdagangan melalui laut, Sriwijaya memanfaatkan sumber daya manusia yang tersebar di seluruh wilayah kekuasaannya yang kini disebut “kekuatan pengganda".

Runtuhnya Sriwijaya disusul naiknya Kerajaan Majapahit (1293–1478) yang semula agraris lalu berkembang menjadi kerajaan maritim setelah Gajah Mada menjadi mahapatih. Dengan Sumpah Palapa, Gajah Mada bercita-cita menyatukan Nusantara dan diangkatlah Laksamana Nala sebagai “Jaladimantri” yang bertugas memimpin kekuatan laut Kerajaan Majapahit.

Dengan armada laut yang kuat, Majapahit berhasil menguasai wilayah yang amat luas hingga keluar Nusantara. Kejatuhan Majapahit diikuti munculnya Kerajaan Demak.Kebesaran Kerajaan Demak jarang diberitakan, tetapi bukti kekuatan maritim Kerajaan Demak mampu mengirim armada laut yang dipimpin Pati Unus yang bergelar Pangeran Sabrang Lor membawa 100 buah kapal dengan 10.000 prajurit menyerang Portugis di Malaka.

Meski berteknologi sederhana,Demak mampu mengerahkan pasukan dan perbekalan dari utara Pulau Jawa menuju Semenanjung Malaka. Kilasan sejarah itu memberi gambaran, beberapa kerajaan di Nusantara mampu menyatukan wilayah luas dan disegani bangsa lain karena kehebatan armada niaga, keandalan manajemen transportasi laut, dan armada militer yang mumpuni.

Dengan armada kapal niaga yang besar,kerajaan mampu bersosialisasi dan membawa kekayaan alam sebagai komoditas perdagangan ke negeri lain.Sementara untuk menjaga keamanan, kerajaan memiliki armada laut yang kuat. Sayang, beberapa kerajaan besar itu jatuh bukan karena serangan lawan, tetapi karena ”perang saudara”.Kondisi itu dimanfaatkan kekuatan asing untuk menguasai wilayah ini.

Dengan mempelajari kondisi kerajaan dan kultur penguasa di Nusantara, kekuatan asing mampu menduduki negeri ini dengan menjauhkan penghidupan masyarakat dari laut. Masyarakat digiring untuk kembali menjadi petani. Lama kelamaan, armada laut kerajaan menjadi kecil.Kesempatan ini dimanfaatkan kekuatan asing seperti Portugis, Inggris, dan VOC untuk ganti menguasai laut Nusantara. Dengan terdesaknya raja-raja ke pedalaman dan dikuasainya berbagai pelabuhan oleh asing, sejak saat itu paradigma maritim kita diubah penjajah,menjadi bangsa agraris.

Bangsa Pelaut

Sejarah menyakitkan itu dibaca para pejuang kemerdekaan Indonesia. Untuk itu, ketika bangsa ini baru mulai hidup di alam kemerdekaan, para pemimpin kita sadar atas kondisi geografis dan kejayaan masa lampau sebagai bangsa bahari. Saat membuka Institut Angkatan Laut (IAL) pada 1953 di Surabaya, Presiden Soekarno berpesan, "…usahakan penyempurnaan keadaan kita ini dengan menggunakan kesempatan yang diberikan oleh kemerdekaan.

Usahakan agar kita menjadi bangsa pelaut kembali.Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos di kapal, bukan! Tetapi bangsa pelaut dalam arti cakrawati samudra. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri.”

Hal ini dibuktikan Soekarno, yaitu pada 1960-an kekuatan Angkatan Laut Indonesia adalah yang terbesar di Asia Tenggara dengan komposisi 234 kapal perang yang terdiri atas sebuah kapal penjelajah (cruiser), 12 kapal selam, 7 kapal perusak (destroyer), 7 Fregat, dan beberapa jenis kapal perang lain. Dalam usia kemerdekaan yang masih muda,para pemimpin telah memfokuskan kekuatan militer berdasar konstelasi geografis.

Dengan kekuatan militer, bangsa ini mampu mengusir Belanda yang saat itu masih mempertahankan Irian Barat. Mengapa Belanda meninggalkan Irian Barat tanpa pertempuran? Terlepas dari upaya diplomasi politik saat itu, jawaban kuatnya adalah kuat dan solidnya TNI, terutama kekuatan lautnya. Besarnya armada laut dengan persenjataan canggih saat itu mampu mengangkut pasukan dalam jumlah besar,siap melaksanakan pertempuran laut.

Maka, saat itu Indonesia memiliki posisi tawar yang tinggi. Seiring perjalanan waktu, karena kondisi ekonomi yang berbeda dan perhatian pada maritim berkurang, membuat kekuatan laut kita menyusut mencapai antiklimaks. Alat utama sistem persenjataan (alutsista) rontok menjadi besi tua yang hanya mampu mengapung di laut. Armada niaga kita pun bernasib sama,yang tak laik melaut, tetapi dipaksa sehingga kadang celaka.

Menuju AL yang Kuat

Kini keadaan relatif membaik. UU RI No 3/2002 tentang Pertahanan Negara, terutama Pasal 3 (2) menyatakan, pertahanan negara disusun dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Artinya, pemimpin Indonesia menyadari,laut berikut segala aktivitas di dalamnya dapat menjadi tumpuan masa depan bangsa.

Bagi TNI AL, ini merupakan tantangan, menjaga keamanan perairan dari gangguan maupun ancaman kedaulatan. Untuk itu, dibutuhkan Angkatan Laut yang kuat dan upaya menuju ke arah itu telah dimulai. Saat ini telah dibeli empat corvet kelas Sigma dari Belanda, sebuah kapal sudah tiba di Tanah Air, KRI Diponegoro-365. Sisanya masih dikerjakan.

Dari Korea juga telah datang dua kapal LPD,disusul segera dua lainnya yang masih dibangun. Meski anggaran menjadi kendala, dengan perencanaan yang baik, mudahmudahan kapal-kapal lain akan menyusul memperkuat kekuatan penjaga laut kita. Kita berharap perhatian dalam aspek maritim tidak hanya tertumpu pada pembangunan kekuatan angkatan laut, tetapi mampu mengembalikan Indonesia sebagai negara bahari.

Bangsa yang memiliki karakter bahari tidak harus diartikan sebagai bangsa yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan, tetapi bangsa yang menyadari kehidupan masa depannya bergantung pada lautan. Intinya, selalu menoleh, menggali, dan memanfaatkan laut sebagai tulang punggung bangsa dan negara.(*)

Laksamana TNI Sumardjono
Kepala Staf Angkatan Laut


0 komentar:

Posting Komentar