Minggu, 23 Agustus 2009

Krisis Moneter di Indonesia : Sebuah Penggarapan yang Sistematis ?

Artikel-artikel sebelumnya mulai dari Pendekatan Kebangsaan, Palestina Merdeka, Perjuangan Kebangsaan = Perjuangan Keagamaan ?, Apakah Amerika Serikat Negara Brengsek dan Kejatuhan Bung Karno dan Suharto : Ulah Amerikat Serikat ? adalah rangkaian artikel dimana penulis mencoba menarik benang merah hubunganya dengan situasi ekonomi Indonesia saat ini. Apa yang disampaikan dalam tulisan tulisan tersebut hanyalah sebuah kerangka berfikir bagaimana mencari cara pemecahan masalah ekonomi Indonesia dipandang dari berbagai sisi.

Bahwa untuk mengetahui akar permasalah perekonomian sebuah negara bukanlah hal mudah, banyak faktor yang harus dikaji secara mendalam dan hal ini tentunya harus melihat history perjalanan negara ini baik external maupun internal untuk masa sebelumnya. Pengkajian untuk masalah perekonomian negara memerlukan keterlibatan banyak disiplin ilmu dan latar belakang sebab untuk mendapatan gambaran yang utuh haruslah dilihat dari banyak sisi. Banyak literatur sejarah mengenai perjalanan politik atau ekonomi Indonesia masa Bung Karno, demikian juga pada masa penerusnya tetapi itu hanya sebagian kecil dari gambaran historical yang diperlukan untuk menganalisa permasalahan ekonomi Indonesia secara comprehensive. Politik dan ekonomi merupakan sebuah kesatuan dalam kehidupan kenegaraan, tetapi dalam politik banyak hal yang harus disembunyikan dan merupakan rahasia untuk kepentingan keamanan negara. Kebijakan politik luar negeri kadang bertentangan dengan kehendak rakyat, itu lumrah karena Indonesia berada dalam pergaulan internasional. Seperti halnya pelatihan pilot pesawat tempur Indonesia di Israel adalah menjadi operasi rahasia sebab jika dilakukan secara formal dipastikan mendapat tentangan dari rakyat. Demikian pula halnya BLT yang menjadi kontrovesi karena disinyalir berasal dari dana hutang luar negeri menggambarkan bahwa banyak hal yang perlu dirahasiakan untuk menghindari pertentangan. Pertentangan didalam negeri dapat mengakibatkan terganggunya roda perekonomian apalagi sampai menimbulkan konflik.

Suatu kesimpulan dari sebuah analisa hasilnya dapat bermacam-macam, misalnya kenaikan IHSG dengan tolok ukur sesudah krisis moneter hasilnya dapat menggambarkan kemajuan, tetapi jika tolok ukur diambil sebelum krisis maka hasilnya adalah tingkat recovery. Artinya, analisa dapat dibuat dengan berbagai cara dengan hasil tergantung untuk kepentingan apa. Tidak ada yang pasti, patokanya bahwa asumsinya kuat untuk mendukung analisa tersebut.

Dalam konteks tulisan ini dan sebelumnya mungkin akan menimbulkan pertanyaan bahwa krisis moneter dan ekonomi di Indonesia saat ini ada kaitanya dengan Palestina, Amerika Serikat, Uni Soviet, hutang luar negeri maupun pergantian kerkuasaan di Indonesia. Untuk melihat kaitannya berikut rangkumanya.

Dukungan bangsa Indonesia kepada perjuangan bangsa Palestina tidak dapat dipungkiri karena alasan kesamaan agama, tetapi apakah semua bangsa Palestina beragama Islam, belum tentu. Oleh karena Bangsa Palestina sudah digeneralisi sebagai Islam oleh bangsa Indonesia telah menimbulkan pandangan bahwa Israel yang didukung Amerika Serikat melakukan penindasan terhadap Agama Islam. Pandangan itulah yang membuat ada bangsa Indonesia melakukan bom bunuh diri di negerinya sendiri karena kebenciannya terhadap Israel maupun Amerika Serikat. Peristiwa bom bunuh diri membuat goncangan sektor financial yang mengancam kestabilan ekonomi Indonesia. Namun dipandang dari kacamata politiik, pencarian dukungan perjuangan suatu bangsa dapat dilakukan melalui pendekatan keagamaan. Dari uraian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai dasar tindakan yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga kestabilan ekonomi yaitu meluruskan pandangan bangsa Indonesia agar tidak termakan ajakan untuk melakukan tindakan bom bunuh diri.

Demikian pula moneter dan ekonomi Indonesia dikaitkan dengan Amerika Serikat mungkin akan membingungkan banyak pembaca, tapi jika kita lihat dari pinjaman-pinjaman luar negeri Indonesia akan terlihat peran Amerika Serikat baik melalui Word Bank maupun IMF. Bahwa Amerika Serikat penyandang dan kedua lembaga tersebut tentu ada tujuan politik sebagai mana Amerika Serikat juga penyandang dana terbesar PBB yang meiliki hak veto permanen. Seperti kita ketahui, bahwa pinjaman luar negeri Indonesia berasal dari Amerika Serikat dan negara negara eropa barat yang sekutunya serta Jepang. Tetapi, bagaimana perjalanan pinjaman itu mulai dari pembuatan proposal sampai pencairan dan penggunaanya, pasti tidak banyak yang memahami. Adanya pos pinjaman luar negeri Untuk pembuatan Feasibility study dan proposal juga tidak banyak yang tahu kalau dalam pelaksanaanya melibatkan banyak expatriat yang sesungguhnya tidak diperlukan. Kemungkinan bahwa krisis moneter di Indonesia dapat digarap dari pemberian pinjaman yang tujuan akhir menumbangkan suatu kekuasaan ,tidak terfikirkan atau hal yang imposible dan tidak ada teorinya. Untuk sampai pada kesimpulan bahwa krisis moneter Indonesia sengaja diciptakan secara sistematis bukanlah perkara mudah. Banyak data yang diperlukan untuk memperkuat kemungkinan itu terutama menyangkut pinjaman luar negeri sektor swasta yang bermasalah.

Kemungkinan krisis moneter dapat diciptakan secara sistematis, berikut ini logikanya. Bahwa pinjaman luar negeri Indonesia pada masa Orde Baru terjadi melalui sebuah proses panjang dimulai dari pendataan keuangan negara untuk mengetahui kemampuan pengembalian pinjaman. Ini adalah sebuah proses standart dalam prosedur pengajuan pinjaman. Tetapi karena pendataannya dibiaya oleh pemberi pinjaman, ini menjadi hal yang tidak lazim terlebih banyak melibatkan tenaga expatriat. Faktanya, pertanggungan jawab pelaksanaan pekerjaan pendataan keuangan negara tersebut bukan kepada pemerintah Indonesia, tetapi kepada pemberi pinjaman yang dalam hal ini Word Bank di Washington. Pekerjaan ini hanya merupakan sebuah prelemenary, namun dari sini kekuatan keuangan Indonesia sudah terbaca oleh pihak luar. Pembiayaan untuk melihat kebutuhan investasi pembangunan di Indonesia, juga berasal dari pinjaman luar negeri, pelaporanya juga ke Washington. Dua kegiatan tersebut masih sangat lumrah jika dipandang dari kaca mata awam, tetapi apakah kebutuhan Investasi tersebut sesuai dengan system anggaran yang berlaku di Indonesia ?. Tidak juga, sebab di Indonesia, system anggaran yang berlaku adalah APBD dan APBN yang mempunyai mekanisme masing-masing, sehingga semua pinjaman luar negeri itu masuk dalam APBN dan distribusinya melalui anggaran sektoral pada waktu itu. Dalam tahapan selanjutnya, ada pinjaman luar negeri untuk penyusunan action plan dalam rangka peningkatan pendapatan daerah agar pinjaman yang diberikan menjadi pinjaman yang feasible. Disini terlihat ada kerancuan dalam study approach yang digunakan, pemungutan pendapatan pajak dan retribusi daerah berbeda object dengan pajak pusat sedangkan pinjaman luar negeri adalah masuk anggaran pemerintah pusat. Seperti kita ketahui, bahwa semua pungutan oleh negara harus ada payung hukumnya dan tidak serta merta dapat diterapkan karena harus melalui sebuah mekanisme juga. Artinya, pinjaman luar negeri untuk penyusunan action plan tersebut juga telah membuka informasi kemampuan keuangan daerah untuk kedepanya. Dengan demikian, bahwa kemungkinan pinjaman luar negeri itu adalah untuk pendataan keuangan dan potensinya adalah untuk membaca kekuatan Indonesia secara ekonomi. Sebab, perundingan perundingan yang dilakukan oleh petinggi kita menyangkut komitment persetujuan pinjaman adalah dengan data yang matang ditangan dan pihak luar juga sudah memegang data yang berhasil dikumpulkan serta dipelajari dari kegiatan yang mereka biayai dengan dana yang sifatnya pinjaman juga. Seperti kita kitahui bahwa pinjaman luar negeri Indonesia berasal dari Amerika Serikat dan sekutunya, kegiatan-kegiatan yang mendahului sebelum persetujuan pinjaman tersebut bukan tidak mungkin ada muatan politis dibalik itu.

Apa yang mendasari bahwa pinjaman luar negeri yang diterima Indonesia pada masa Orde Baru bermuatan Politis ?.

Perang ideologi antara Blok Barat yang dikomandoi oleh Amerika Serikat yang liberal dan Blok Timur dibawah Uni Soviet yang marxis menempatkan Indonesia pada posisi perebutan antara kedua blok. Sikap politik Presiden Sukarno yang anti imperialisme dan kolonialisme condong ke Blok Timur yang tentunya dianggap sangat mengancam keamanan Australia yang Blok Barat. Terjunya Amerika Serikat dalam perang Vietnam, menggambarkan pertarungan ideologi antara kedua Blok tersebut yang amat sangat sengit. Bagi Amerikat Serikat, ideologi marxisme dan komunisme bila sampai mempengaruhi rakyatnya maka negara ini akan mengalami kehancuran dari dalam. Terbukti dikemudian hari Uni Soviet bubar oleh adanya gerakan perestroika yang lebih liberal disamping faktor ekonomi.

Dilihat dari penyerahan Irian Barat dari Belanda kepada Indonesia melalui PBB, secara jelas memperlihatkan sikap politik Amerika serikat yang mempunyai hak veto permanen sangat kontradiktiksi terhadap Indonesia yang pada waktu dipersenjatai oleh Uni Soviet. Sejarah Indonesia mencatat pergantian kekuasaan di Indonesia dari Sukarno kepada Suharto membawa juga perubahan garis politik Indonesia menjadi pro Blok Barat. Namun latar belakang kecondongan arah politik Indonesia dibawah kekusasaan Sukarno maupun Suharto adalah sama yaitu faktor ideologi.

Seiring dengan bubarnya Uni Soviet, perang ideologi antara kedua Blok dunia tersebut berakhir pula. Namun demikian, garis politik luar negeri Amerika Serikat bukan tidak berubah, terjunya Amerika Serikat ke Afghanistan maupun Irak adalah berlatar belakang Ideologi, memerangi teroris adalah alasan seperti yang kita dengar dari pihak Amerika Serikat, melawan kedzoliman alasan di pihak lawan yang tak lain adalah kaum islam.

Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas Islam dan terbesar didunia, tidak diharapkan oleh Amerika Serikat terseret konflik langsung dipihak kaum Islam. Sebagaimana sebuah analisa, sebuah kesimpulan harus didukung dengan argumentasi yang kuat dan kesimpulan akan dapat dipatahkan apabila ada argumentasi lain yang kuat. Dalam tulisan ini, konflik yang terjadi antara Amerika Serikat dan kaum Islam dibelahan dunia lain adalah alasan Amerika Serikat tetap ingin mengendalikan Indonesia yang berpenduduk kaum Islam terbesar didunia ini. Alasan tersebut adalah asumsi yang penulis anggap paling relevan bahwa Indonesia adalah negara yang dijadikan target pengendalian kekuasaan melalui pinjaman2 yang diberikan oleh Amerika Serikat dan sekutunya negara-negara Eropa Barat itu.

Dari sisi politik luar negeri Amerikat serikat sebagaimana sudah disinggung diatas, bahwa pinjaman yang diberikan kepada Indonesia bukanlah pinjaman sosial atau persahabatan, bunga yang dikenakan adalah bunga yang sangat komersial ( diatas rata-rata bunga yang umumnya diterapkan perbankan dalam dunia usaha ) dan sebagian besar pinjaman tersebut penggunaanya adalah untuk pembangunan infrastruktur yang tidak dapat serta merta menghasilkan uang. Didalam implementasinya, seharusnya ada peningkatan pendapatan daerah yang luar biasa agar dana pinjaman dapat dikembalikan sebab penggunaan dana pinjaman tersebut sebagian besar digunakan untuk iinvestasi yang dikelola pemerintah daerah. Tetapi didalam kenyataanya, seluruh pengembalian pinjaman luar negeri tersebut menjadi beban APBN. Dari sini terlihat, bahwa APBN menerima pinjaman yang sumber pengembaliannya tidak dapat dikontrol, artinya disini struktur APBN dibuat lemah. Kebijakan devaluasi yang dilakukan pemerintah menambah lemah struktur APBN sebab devaluasi sama saja artinya menggelembungkan pinjaman yang harus dikembalikan. Ditambah lagi pinjaman luar negeri sektor swasta yang digaransi pemerintah akhirnya menjadi beban APBN juga karena bermasalah.

Dilihat dari pemberi pinjaman adalah negara-negara Blok Barat, melalui pinjaman tersebut dengan berpatokan pada dalil ekonomi yang paling dasar yaitu supply & demand, bahwa nilai rupiah dapat menguat dan melemah. Bahwa struktur APBN yang sudah dibuat lemah karena sumber pengembalian yang tidak terkontrol, tekanan terhadap rupiah pada saat jatuh tempo pinjaman tersebut menjadikan keuangan negara tidak mampu berbuat banyak terlebih pada saat jatuh tempo pinjaman sektor swasta yang bermasalah itu. Seperti kita ketahui, ambruknya beberapa bank pemerintah karena menggaransi pinjaman luar negeri sektor swasta yang menimbulkan gejolak moneter di Indonesia yang berujung pada krisis ekonomi. Dan krisis ekonomi inilah yang menimbulkan pergolakan masyarakat yang memaksa Presiden Suharto mengundurkan diri.

Namun, jika kita lihat bahwa negara-negara lain mengalami krisis keuangan yang sama dengan Indonesia, dengan melihat methode pinjaman yang diterapkan di Indonesia, dapat juga diterapkan dinegara lain. Seperti kita lihat di Korea Selatan, krisis dimulai dari sektor industri yang pasar utamanya adalah negara2 Blok Barat terutama Amerika Serikat sedangkan di Indonesia karena ambruknya perbankan terutama bank pemerintah. Jika dilihat lebih jauh lagi, bahwa negara-negara yang mengalami krisis moneter adalah negara-negara yang dekat dengan Blok Barat yang mungkin saja dipakai sebagai triger krisis moneter di Indonesia yang sudah terbaca APBN nya tidak mempunyai kemampuan untuk membendung.

Bahwa analisa diatas masih perlu dikaji lebih mendalam untuk mendapatkan sebuah kesimpulan yang kuat, tetapi apa yang disampaikan dalam tulisan ini adalah berangkat dari proses pinjaman luar negeri tersebut. Tidak matchingnya antara study yang dilakukan oleh para expatriat dengan implementasi yang mengikuti mekanisme system anggaran negara Indonesia terkait dengan pinjaman luar negeri mungkin tidak kita sadari bahwa pinjaman luar negeri tersebut akan menjadi bom waktu karena pemerintah pusat sebagai penanggung jawab pinjaman telah kehilangan kontrolnya. Bom waktu itu menjadi sebuah krisis moneter karena tidak seimbangnya ketersedian mata US $ pada saat jatuh tempo.

Apa yang ingin penulis sampaikan, bahwa pinjaman luar negeri menjadi masalah karena tidak terkontrol secara baik. Yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana investasi di negeri ini yang menggunakan dana pinjaman tersebut dapat meningkatkan pendapatan negara. Sebab dalam konsep yang benar, bahwa investasi dari pinjaman luar negeri tersebut dalam pengelolaanya telah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah yang tehnisnya akan mengurangi porsi dana alokasi dari pemerintah pusat. Artinya, dalam pengembalian pinjaman perlu gotong royong dengan peningkatan pendapatan daerah yang sekaligus merupakan tindakan perbaikan ekonomi negeri ini.

Sebagaimana telah disampaikan diatas, bahwa inti persoalan yang coba diangkat oleh penulis adalah melihat kemungkinan terjadinya krisis moneter di Indonesia karena sebuah penggarapan yang sistematis. Dengan mengetahui penyebab krisis moneter, kita sebagai bangsa diharapkan mampu mengatasi kondisi ini oleh bangsa kita sendiri. Dan untuk memperkuat kesimpulan, masih diperlukan pendalaman sebab yang penulis sampaikan adalah hanya kerangka berfikir dalam melihat persoalan bangsa ini. Judul tulisan selalu diikuti tanda tanya adalah merupakan ajakan untuk seluruh komponen bangsa bagaimana bersama-sama memecahkan persoalan bangsa ini. Keluar tidaknya bangsa Indonesia dari persoalan sangat tergantung dari bangsa Indonesia Juga.

Oleh doddypoerbo - 24 Augustus 2009

http://forum.detik.com/archive/index.php/t-7475.html

Inilah tulisan dari KASAL kita yang baru
tulisannya bertentangan dengan tindakannya
dia merindukan kekuatan TNI tahun 65 yang mempunyai 12 kapal selam
tapi dia sendiri membatalkan pembelian kapal selam yang dirancang seniornya

coba ditanyakan ke dia SIGMA class yang dibeli udah lengkap senjatanya belum? sudah bukan jamanya lagi kita ngandelin meriam dan rudal jarak sangat dekat

Kejayaan Maritim
Rabu, 05/12/2007

Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudra” Penggalan syair lagu itu mengingatkan kebesaran Nusantara di masa lalu yang kini hilang. Tetapi betulkah nenek moyang kita pelaut?

Betulkah kita ini bangsa bahari? Betulkah karakter bangsa kita berwawasan maritim? Sebagai bangsa bahari, negeri ini seharusnya mempunyai visi kelautan, direfleksikan dengan pembangunan berwawasan bahari, termasuk dimilikinya armada laut (niaga dan militer) yang kuat.

Mari kita tengok masa keemasan Nusantara. Sejak abad ke-9 Masehi, bangsa Indonesia telah berlayar jauh dengan kapal bercadik.Mereka ke utara mengarungi lautan, ke barat memotong lautan Hindia hingga Madagaskar, ke timur hingga Pulau Paskah.Dengan kian ramainya arus pengangkutan komoditas perdagangan melalui laut, mendorong munculnya kerajaan-kerajaan di Nusantara yang bercorak maritim dan memiliki armada laut yang besar.

Kerajaan maritim terbesar di Nusantara diawali Kerajaan Sriwijaya (683–1030 Masehi). Petualang Tiongkok, I Tsing, mencatat, Shih Li Fo Shih (Sriwijaya) adalah kerajaan besar yang mempunyai benteng di Kotaraja,armada lautnya amat kuat. Guna memperkuat armada dalam mengamankan lalu lintas perdagangan melalui laut, Sriwijaya memanfaatkan sumber daya manusia yang tersebar di seluruh wilayah kekuasaannya yang kini disebut “kekuatan pengganda".

Runtuhnya Sriwijaya disusul naiknya Kerajaan Majapahit (1293–1478) yang semula agraris lalu berkembang menjadi kerajaan maritim setelah Gajah Mada menjadi mahapatih. Dengan Sumpah Palapa, Gajah Mada bercita-cita menyatukan Nusantara dan diangkatlah Laksamana Nala sebagai “Jaladimantri” yang bertugas memimpin kekuatan laut Kerajaan Majapahit.

Dengan armada laut yang kuat, Majapahit berhasil menguasai wilayah yang amat luas hingga keluar Nusantara. Kejatuhan Majapahit diikuti munculnya Kerajaan Demak.Kebesaran Kerajaan Demak jarang diberitakan, tetapi bukti kekuatan maritim Kerajaan Demak mampu mengirim armada laut yang dipimpin Pati Unus yang bergelar Pangeran Sabrang Lor membawa 100 buah kapal dengan 10.000 prajurit menyerang Portugis di Malaka.

Meski berteknologi sederhana,Demak mampu mengerahkan pasukan dan perbekalan dari utara Pulau Jawa menuju Semenanjung Malaka. Kilasan sejarah itu memberi gambaran, beberapa kerajaan di Nusantara mampu menyatukan wilayah luas dan disegani bangsa lain karena kehebatan armada niaga, keandalan manajemen transportasi laut, dan armada militer yang mumpuni.

Dengan armada kapal niaga yang besar,kerajaan mampu bersosialisasi dan membawa kekayaan alam sebagai komoditas perdagangan ke negeri lain.Sementara untuk menjaga keamanan, kerajaan memiliki armada laut yang kuat. Sayang, beberapa kerajaan besar itu jatuh bukan karena serangan lawan, tetapi karena ”perang saudara”.Kondisi itu dimanfaatkan kekuatan asing untuk menguasai wilayah ini.

Dengan mempelajari kondisi kerajaan dan kultur penguasa di Nusantara, kekuatan asing mampu menduduki negeri ini dengan menjauhkan penghidupan masyarakat dari laut. Masyarakat digiring untuk kembali menjadi petani. Lama kelamaan, armada laut kerajaan menjadi kecil.Kesempatan ini dimanfaatkan kekuatan asing seperti Portugis, Inggris, dan VOC untuk ganti menguasai laut Nusantara. Dengan terdesaknya raja-raja ke pedalaman dan dikuasainya berbagai pelabuhan oleh asing, sejak saat itu paradigma maritim kita diubah penjajah,menjadi bangsa agraris.

Bangsa Pelaut

Sejarah menyakitkan itu dibaca para pejuang kemerdekaan Indonesia. Untuk itu, ketika bangsa ini baru mulai hidup di alam kemerdekaan, para pemimpin kita sadar atas kondisi geografis dan kejayaan masa lampau sebagai bangsa bahari. Saat membuka Institut Angkatan Laut (IAL) pada 1953 di Surabaya, Presiden Soekarno berpesan, "…usahakan penyempurnaan keadaan kita ini dengan menggunakan kesempatan yang diberikan oleh kemerdekaan.

Usahakan agar kita menjadi bangsa pelaut kembali.Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos di kapal, bukan! Tetapi bangsa pelaut dalam arti cakrawati samudra. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri.”

Hal ini dibuktikan Soekarno, yaitu pada 1960-an kekuatan Angkatan Laut Indonesia adalah yang terbesar di Asia Tenggara dengan komposisi 234 kapal perang yang terdiri atas sebuah kapal penjelajah (cruiser), 12 kapal selam, 7 kapal perusak (destroyer), 7 Fregat, dan beberapa jenis kapal perang lain. Dalam usia kemerdekaan yang masih muda,para pemimpin telah memfokuskan kekuatan militer berdasar konstelasi geografis.

Dengan kekuatan militer, bangsa ini mampu mengusir Belanda yang saat itu masih mempertahankan Irian Barat. Mengapa Belanda meninggalkan Irian Barat tanpa pertempuran? Terlepas dari upaya diplomasi politik saat itu, jawaban kuatnya adalah kuat dan solidnya TNI, terutama kekuatan lautnya. Besarnya armada laut dengan persenjataan canggih saat itu mampu mengangkut pasukan dalam jumlah besar,siap melaksanakan pertempuran laut.

Maka, saat itu Indonesia memiliki posisi tawar yang tinggi. Seiring perjalanan waktu, karena kondisi ekonomi yang berbeda dan perhatian pada maritim berkurang, membuat kekuatan laut kita menyusut mencapai antiklimaks. Alat utama sistem persenjataan (alutsista) rontok menjadi besi tua yang hanya mampu mengapung di laut. Armada niaga kita pun bernasib sama,yang tak laik melaut, tetapi dipaksa sehingga kadang celaka.

Menuju AL yang Kuat

Kini keadaan relatif membaik. UU RI No 3/2002 tentang Pertahanan Negara, terutama Pasal 3 (2) menyatakan, pertahanan negara disusun dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Artinya, pemimpin Indonesia menyadari,laut berikut segala aktivitas di dalamnya dapat menjadi tumpuan masa depan bangsa.

Bagi TNI AL, ini merupakan tantangan, menjaga keamanan perairan dari gangguan maupun ancaman kedaulatan. Untuk itu, dibutuhkan Angkatan Laut yang kuat dan upaya menuju ke arah itu telah dimulai. Saat ini telah dibeli empat corvet kelas Sigma dari Belanda, sebuah kapal sudah tiba di Tanah Air, KRI Diponegoro-365. Sisanya masih dikerjakan.

Dari Korea juga telah datang dua kapal LPD,disusul segera dua lainnya yang masih dibangun. Meski anggaran menjadi kendala, dengan perencanaan yang baik, mudahmudahan kapal-kapal lain akan menyusul memperkuat kekuatan penjaga laut kita. Kita berharap perhatian dalam aspek maritim tidak hanya tertumpu pada pembangunan kekuatan angkatan laut, tetapi mampu mengembalikan Indonesia sebagai negara bahari.

Bangsa yang memiliki karakter bahari tidak harus diartikan sebagai bangsa yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan, tetapi bangsa yang menyadari kehidupan masa depannya bergantung pada lautan. Intinya, selalu menoleh, menggali, dan memanfaatkan laut sebagai tulang punggung bangsa dan negara.(*)

Laksamana TNI Sumardjono
Kepala Staf Angkatan Laut


http://7samudra.wordpress.com/2008/02/19/kejayaan-maritim-indonesia/

Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudra….

Penggalan syair lagu itu mengingatkan kebesaran nusantara di masa lalu
yang kini hilang. Namun, “Betulkah nenek moyang kita pelaut? Betulkah
kita ini bangsa bahari? Betulkah karakter bangsa kita berwawasan maritim?”

Sebagai bangsa bahari, negeri ini seharusnya mempunyai visi kelautan,
direfleksikan dalam pembangunan berwawasan bahari, termasuk menguatkan
armada laut (niaga dan militer).

Zaman keemasan

Menengok masa keemasan nusantara, sejak abad ke-9 Masehi, bangsa
Indonesia telah berlayar jauh menggunakan kapal bercadik. Mereka ke
utara mengarungi lautan, ke barat memotong Lautan Hindia hingga
Madagaskar, ke timur hingga Pulau Paskah. Dengan kian ramainya arus
perdagangan melalui laut, mendorong munculnya kerajaan-kerajaan di
nusantara yang bercorak maritim dan memiliki armada laut yang besar.

Kerajaan maritim terbesar di nusantara diawali Kerajaan Sriwijaya
(683-1030 M). Petualang Tiongkok, I Tsing, mencatat, Shih Li Fo Shih
(Sriwijaya) adalah kerajaan besar yang mempunyai benteng di Kotaraja,
armada lautnya amat kuat. Guna memperkuat armada dalam mengamankan
lalu lintas perdagangan melalui laut, Sriwijaya memanfaatkan sumber
daya manusia yang tersebar di seluruh wilayah kekuasaannya, yang kini
disebut “kekuatan pengganda”.

Runtuhnya Sriwijaya disusul naiknya Kerajaan Majapahit (1293-1478 M)
yang semula agraris. Majapahit lalu berkembang menjadi kerajaan
maritim setelah Gajah Mada menjadi mahapatih. Dengan Sumpah Palapa,
Gajah Mada bercita-cita menyatukan nusantara dan diangkatlah Laksamana
Nala sebagai Jaladimantri yang bertugas memimpin kekuatan laut
Kerajaan Majapahit. Dengan armada laut yang kuat, kekuasaan Majapahit
amat luas hingga keluar nusantara.

Kejatuhan Majapahit diikuti munculnya Kerajaan Demak. Kebesaran
Kerajaan Demak jarang diberitakan. Kekuatan maritim Kerajaan Demak
dibuktikan dengan mengirim armada laut sebanyak 100 buah kapal dengan
10.000 prajurit menyerang Portugis di Malaka. Pemimpin armada itu
adalah Pati Unus yang bergelar Pangeran Sabrang Lor. Meski
berteknologi sederhana, Demak mampu mengerahkan pasukan dan perbekalan
dari utara Pulau Jawa menuju semenanjung Malaka.

Sejarah itu menggambarkan kehebatan armada niaga, keandalan manajemen
transportasi laut, dan armada militer yang mumpuni dari beberapa
kerajaan di nusantara yang mampu menyatukan wilayah luas dan disegani
bangsa lain. Dengan armada niaga yang besar, kerajaan bersosialisasi
dan membawa hasil alam sebagai komoditas perdagangan ke negeri lain.
Dan untuk menjaga keamanan, kerajaan memiliki armada laut yang kuat.

Sayang, beberapa kerajaan besar itu jatuh bukan karena serangan lawan,
tetapi karena “perang saudara”. Kondisi itu dimanfaatkan kekuatan
asing untuk menguasai wilayah ini. Dengan mempelajari kondisi kerajaan
dan kultur penguasa di nusantara, kekuatan asing mampu menduduki
negeri ini dengan menjauhkan penghidupan masyarakat dari laut.
Masyarakat digiring untuk kembali menjadi petani. Lama-kelaman armada
laut kerajaan menjadi kecil. Kesempatan ini dimanfaatkan kekuatan
asing, seperti Portugis, Inggris, dan VOC, untuk ganti menguasai laut
nusantara. Dengan terdesaknya raja-raja ke pedalaman dan dikuasainya
berbagai pelabuhan oleh asing, sejak saat itu paradigma maritim kita
diubah penjajah, menjadi bangsa agraris.

Bangsa pelaut

Sejarah menyakitkan itu dibaca para pejuang kemerdekaan Indonesia.
Untuk itu, ketika bangsa ini baru mulai hidup di alam kemerdekaan,
para pemimpin kita sadar atas kondisi geografis dan kejayaan masa
lampau sebagai bangsa bahari.

Saat membuka Institut Angkatan Laut (IAL) tahun 1953 di Surabaya,
Presiden Soekarno berpesan, “…usahakan penyempurnaan keadaan kita ini
dengan menggunakan kesempatan yang diberikan oleh kemerdekaan.
Usahakan agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya…, bangsa pelaut
dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos di kapal…
bukan! tetapi bangsa pelaut dalam arti cakrawati samudra. Bangsa
pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai
armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi
irama gelombang lautan itu sendiri “.

Hal ini dibuktikan Soekarno. Tahun 1960-an kekuatan Angkatan Laut
Indonesia adalah yang terbesar di Asia Tenggara dengan komposisi 234
kapal perang terdiri dari sebuah kapal penjelajah (cruiser), 12 kapal
selam, 7 kapal perusak (destroyer), 7 fregat, dan beberapa jenis kapal
perang lain. Dalam usia kemerdekaan yang masih muda, para pemimpin
telah memfokuskan kekuatan militer berdasarkan konstelasi geografis.
Dengan kekuatan militer, bangsa ini mampu mengusir Belanda yang saat
itu masih mempertahankan Irian Barat.

Mengapa Belanda meninggalkan Irian Barat tanpa pertempuran? Terlepas
dari upaya diplomasi politik saat itu, jawaban kuatnya adalah kuat dan
solidnya TNI, terutama kekuatan lautnya. Besarnya armada laut dengan
persenjataan canggih saat itu, mampu mengangkut pasukan dalam jumlah
besar, siap melaksanakan pertempuran laut. Maka, saat itu, Indonesia
memiliki posisi tawar yang tinggi.

Seiring perjalanan waktu dan akibat kondisi ekonomi yang berbeda serta
perhatian pada maritim berkurang membuat kekuatan laut kita mencapai
antiklimaks. Peralatan alutsista rontok, menjadi besi tua. Armada
niaga kita pun bernasib sama. Meski tak laik, dipaksa melaut sehingga
kadang terjadi kecelakaan.

Menuju AL yang kuat

Kini keadaan relatif membaik. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Pertahanan Negara, terutama Pasal 3 Ayat (2) menyatakan, pertahanan
negara disusun dengan memerhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai
negara kepulauan. Artinya, pemimpin Indonesia menyadari, laut berikut
segala aktivitas di dalamnya dapat menjadi tumpuan masa depan bangsa.
Bagi TNI AL, ini merupakan tantangan, menjaga keamanan perairan dari
gangguan ataupun ancaman kedaulatan. Untuk itu, dibutuhkan Angkatan
Laut yang kuat dan upaya menuju ke arah itu telah dimulai.

Saat ini telah dibeli empat korvet kelas Sigma dari Belanda, sebuah
kapal sudah tiba di Tanah Air, KRI Diponegoro-365, sisanya masih
diselesaikan. Dari Korea juga telah datang dua kapal LPD, disusul
segera dua lainnya yang masih dibangun. Meski anggaran menjadi
kendala, dengan perencanaan yang baik mudah-mudahan kapal-kapal lain
akan menyusul memperkuat kekuatan penjaga laut kita. Kita berharap
perhatian dalam aspek maritim tidak hanya tertumpu pada pembangunan
kekuatan angkatan laut, tetapi mampu mengembalikan Indonesia sebagai
negara bahari.

Bangsa yang memiliki karakter bahari tidak harus diartikan bangsa yang
sebagian besar masyarakatnya adalah nelayan, tetapi bangsa yang
menyadari kehidupan masa depannya bergantung pada lautan. Intinya,
selalu menoleh, menggali, dan memanfaatkan laut sebagai tulang
punggung bangsa dan negara.

Laksamana Sumardjono Kepala Staf TNI Angkatan Laut

Sumber : KCM/051207


http://www.mail-archive.com/iagi-net@iagi.or.id/msg21025.html

Dalam sejarah terdapat tesis bahwa kerajaan yang berhasil adalah kerajaan
yang menguasai seluruh aliran sungai dari hulu sampai hilir sebab ini
mengkombinasi pedalaman yang agraris dan muara sungai sampai laut yang maritim.
Sejarah Indonesia telah membuktikan kerajaan-kerajaan yang berhasil semacam
itu, yaitu Kahuripan Erlangga, Singhasari Kertanegara, dan Majapahit Raden
Wijaya-Hayam Wuruk.

Indonesia masa kini : sektor agraris terbengkalai sehingga kedelai dan beras
harus diimpor, laut yang luas banyak didatangi kapal2 asing pencuri ikan dan
tepi wilayah lautnya dirongrong terus banyak negara tetangga mengganggu
kedaulatan wawasan Nusantara. Seharusnya kita menggali kembali kejayaan masa
lalu. Masa lalu adalah benar bahwa “jalesveva jayamahe” – justru di laut kita
jaya !

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, laut menghubungkan
sekitar 17.000 pulau-pulaunya. Maka, seharusnya budaya bahari mengakar kuat di
setiap manusia Indonesia.

Kejayaan bahari pertama dalam skala besar ditunjukkan oleh Kerajaan
Sriwijaya. Bagaimana konstruksi kapal mereka saat itu (abad ke-7) bisa dilihat
di sebuah relief di dinding Candi Borobudur yang terkenal itu. Van Erp, seorang
ahli arkeologi zaman Belanda di Indonesia, pernah khusus mempelajari sebelas
relief kapal laut di candi Budha terbesar di dunia ini. Ia berkesimpulan bahwa
kapal2 itu dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok : perahu lesung sederhana,
perahu lesung yang dipertinggi dengan cadik, dan perahu tanpa cadik.

Bagaimana Sriwijaya bisa menguasai lautan Nusantara di wilayah seluruh
Sumatra sampai Malaya sekarang adalah karena kebijaksanaannya dalam
memperkerjakan suku Orang Laut yang piawai dalam teknologi pembuatan kapal dan
strategi perang laut. Suku Orang Laut mendiami daerah muara sunga-sungai dan
hutan bakau di pantai timur Sumatera, Kepulauan Riau, dan pantai barat
Semenanjung Malaya. Waktu itu, Sriwijaya telah berhasil menjadi kekuatan
perdana dalam sejarah Nusantara yang mendominasi wilayah sekitar perairan
timur Pulau Sumatera, yang merupakan jalur kunci perdagangan dan pelayaran
internasional (sampai saat ini). Ia bergerak ke perairan Laut Jawa untuk
menguasai jalur pelayaran rempah-rempah dan bahan pangan hasil pertanian.

Sayang, Sriwijaya hanya negara maritim dan bukan agraris juga, maka ia tak
bertahan lama. Seperti saya sebutkan di awal, pengalaman sejarah menunjukkan
bahwa kota pelabuhan harus ditopang oleh hasil pertanian yang menjadi komoditas
unggulan dari wilayah pedalaman. Ketangguhan agraria dan maritim adalah
pilar-pilar utama untuk kejayaan Nusantara.

Ketangguhan agraris dan maritim pertama kali ditunjukkan oleh Singhasari di
bawah pemerintahan Kertanegara pada abad ke-13. Cikal bakal kerajaan ini sejak
abad ke-10 oleh Medang, Kahuripan, lalu Kediri telah punya basis yang kuat
menguasai seluruh aliran sungai Brantas dari hulu sampai hilirnya, meramu
kekuatan agraria dan maritim. Maka saat Kertanegara tampil, politik ekspansinya
menguasai lautan Nusantara menjadi mulus.

Dalam Kakawin (babad, cerita, kitab) Negarakertagama Kertanegara telah
mendengungkan perluasan cakrawala mandala ke luar Pulau Jawa, yang meliputi
daerah seluruh dwipantara. Dengan kekuatan armada laut yang tidak ada
tandingannya, pada tahun 1275 Kertanegara mengirimkan ekspedisi bahari ke
Kerajaan Melayu dan Campa untuk menjalin persahabatan agar bersama2 dapat
menghambat gerak maju Kerajaan Mongol ke Asia Tenggara. Tahun 1284, ia
menaklukkan Bali dalam ekspedisi laut ke timur. Dua pilar utama kekuatan
agraris dan maritim telah membawa Kertanegara menaklukan : Pahang, Melayu,
Gurun (Indonesia Timur), Bakulapura (Kalimantan BD), Sunda, Madura, dan seluruh
Jawa. Sekalipun lautan menjadi perhatian utamanya, Kertanegara tidak pernah
“luput ing madal” (lupa daratan), ia memperkuat sektor agrarianya.

Puncak kejayaan bahari tercapai pada abad ke-14 ketika Majapahit menguasai
seluruh Nusantara bahkan pengaruhnya meluas sampai ke negara-negara asing
tetangganya. Kerajaan Majapahit di bawah Raden Wijaya, Hayam Wuruk, dan Gajah
Mada telah berkembang pesat menjadi kerajaan besar yang mampu memberikan
jaminan bagi keamanan perdagangan di wilayah Nusantara.

Visi dan keinginan kuat untuk membangun kerajaan yang mengedepankan kekuatan
maritim dan agrarian telah menjadi tekad Raden Wijaya, anak menantu
Kertanegara. Visi itu diwujudkan dengan memilih lokasi ibukota Kerajaan
Majapahit di daerah Tarik di hilir sungai Brantas dengan maksud memudahkan
pengawasan perdagangan pesisir dan sekaligus dapat mengendalikan produksi
pertanian di pedalaman.

Penyatuan Nusantara oleh Majapahit melalui ekspedisi2 bahari dimulai tak lama
setelah Mahapatih Gajah Mada mengucapkan sumpah Palapa yang terkenal itu pada
tahun 1334 : tan amukti palapa, “Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun
amukita palapa. Sira Gajah Mada lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti
palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, ring Doran, Tanjungpura, ring Haru,
ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang,Tumasik, samana ingsun amukti
Palapa”

Ekspansi bahari ini tercatat dalam Negara Kertagama anggitan Mpu Prapanca
pada tahun 1365. Buku ini membagi wilayah kekuasaan Majapahit dalam empat
kelompok wilayah : (1) wilayah2 Melayu dan Sumatera : Jambi, Palembang, Samudra
dan Lamori (Aceh), (2) wilayah2 di Tanjung Negara (Kalimantan) dan Tringgano
(Trengganu), (3) wilayah2 di sekitar Tumasik (Singapura), (4) wilayah2 di
sebelah timur Pulau Jawa (Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku sampai Irian).
Daftar lengkap nama2 wilayah taklukan Majapahit tersebut ada di buku Fruin-Mess
(1919) “Geschiedenis van Java” halaman 82-84 (Fruin-Mess mengumpulkannya
berdasarkan Pararaton, Negara Kertagama, dan Hikayat Raja-Raja Pasai).
Fruin-Mess (1919) menulis di halaman 84 (diterjemahkan dari bahasa Belanda),
“Dengan demikian, orang akan melihat bahwa luas wilayah Majapahit kurang lebih
sama dengan wilayah Hindia Belanda dikurangi dengan Jawa Barat karena dalam
daftar tak disebutkan nama Pasundan”

Bahkan juga terungkap dalam catatan sejarah bahwa pengaruh Kerajaan Majapahit
telah sampai kepada beberapa wilayah negara asing : Siam, Ayuthia, Lagor, Campa
(Kamboja), Anam, India, Filipina, China.

Sekarang menjawab pertanyaan Andi :

Keberhasilan Kerajaan Majapahit mewujudkan visi Sumpah Palapa, selain dibakar
semangat kebangsaan patriotik di bawah komando Mahapatih Gajah Mada, juga
banyak disumbang oleh keberhasilan Majapahit dalam mengembangkan teknologi
bahari berupa kapal bercadik yang menjadi tumpuan utama kekuatan armada
lautnya. Gambaran model konstruksi kapal bercadik sejak zaman Sriwijaya,
Singhasari, dan Majapahit telah terpahat rapih pada relief Candi Borobudur
seperti diterangkan di atas. Armada laut Majapahit ini didukung oleh
persenjataan andalan berupa meriam hasil rampasan dari bala tentara Kubilai
Khan ketika menyerang Kediri (atas tipudaya Raden Wijaya) dan roket (sekarang
peluru kendali) yang ditiru Majapahit dari peralatan perang Kubilai Khan itu.
Peralatan militer Majapahit ini dapat dibaca lebih lanjut di buku Jawaharlal
Nehru (1964) : A Glimpses of World History – Oxford University Press, New York,
atau Pramudya Toer (1998) : Hoakiau di Indonesia – Garba
Budaya, Jakarta.
Sementara kapal2 armada zaman Sriwijaya-Singhasari bisa dilihat di buku Anthony
Reid (1996) : Indonesian Heritage : Early Modern History – Archipelago Press,
Jakarta, atau Djoko Pramono (2005) : Budaya Bahari – Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.

Tradisi Kerajaan Majapahit tidak banyak mendirikan candi, di pusat
kerajaannya pun dan di seluruh Jawa Timur tak banyak candi yang
ditinggalkannya, tak sampai lima candi telah ditemukan (misalnya candi Tikus di
utara Tulung Agung dan Bajang Ratu di Trowulan), itu pun sangat sederhana,
terbuat dari bata merah, tanah lempung yang dibakar; berbeda dengan candi-candi
Mataram Budha, Hindu atau Syiwa di Jawa Tengah yang raja-rajanya gemar
mendirikan candi yang massif dan besar terbuat dari batuan andesit. Maka, di
wilayah pusat Kerajaan Majapahit pun langka ditemukan candi2 atau bentuk
bangunan peninggalan lain, apalagi di daerah taklukannya. Kalaupun ada,
seberapa besar daya tahan bangunan terbuat dari bata merah dibandingkan andesit
? Bukti2 wilayah penaklukan Majapahit tercatat dalam babad-babad sejarah yang
sezaman atau hampir sezaman dengan periode penaklukannya.

Demikian, semoga kejayaan bahari masa lalu membuat kita menghargai lautan dan
sekitar 17.000 pulau yang menyusun Nusantara.

Salam,
awang



http://hasan.sayanginanda.com/militer-plus/kejayaan-maritim-indonesia-35

Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudra….

Penggalan syair lagu itu mengingatkan kebesaran nusantara di masa lalu yang kini hilang. Namun, "Betulkah nenek moyang kita pelaut? Betulkah kita ini bangsa bahari? Betulkah karakter bangsa kita berwawasan maritim?"

Sebagai bangsa bahari, negeri ini seharusnya mempunyai visi kelautan, direfleksikan dalam pembangunan berwawasan bahari, termasuk menguatkan armada laut (niaga dan militer).

Zaman keemasan

Menengok masa keemasan nusantara, sejak abad ke-9 Masehi, bangsa Indonesia telah berlayar jauh menggunakan kapal bercadik. Mereka ke utara mengarungi lautan, ke barat memotong Lautan Hindia hingga Madagaskar, ke timur hingga Pulau Paskah. Dengan kian ramainya arus perdagangan melalui laut, mendorong munculnya kerajaan-kerajaan di nusantara yang bercorak maritim dan memiliki armada laut yang besar.

Kerajaan maritim terbesar di nusantara diawali Kerajaan Sriwijaya (tahun 683-1030 M). Petualang Tiongkok, I Tsing, mencatat, Shih Li Fo Shih (Sriwijaya) adalah kerajaan besar yang mempunyai benteng di Kotaraja, armada lautnya amat kuat. Guna memperkuat armada dalam mengamankan lalu lintas perdagangan melalui laut, Sriwijaya memanfaatkan sumber daya manusia yang tersebar di seluruh wilayah kekuasaannya, yang kini disebut "kekuatan pengganda".

Runtuhnya Sriwijaya disusul naiknya Kerajaan Majapahit (1293-1478 M) yang semula agraris. Majapahit lalu berkembang menjadi kerajaan maritim setelah Gajah Mada menjadi mahapatih. Dengan Sumpah Palapa, Gajah Mada bercita-cita menyatukan nusantara dan diangkatlah Laksamana Nala sebagai Jaladimantri yang bertugas memimpin kekuatan laut Kerajaan Majapahit. Dengan armada laut yang kuat, kekuasaan Majapahit amat luas hingga keluar nusantara.

Kejatuhan Majapahit diikuti munculnya Kerajaan Demak. Kebesaran Kerajaan Demak jarang diberitakan. Kekuatan maritim Kerajaan Demak dibuktikan dengan mengirim armada laut sebanyak 100 buah kapal dengan 10.000 prajurit menyerang Portugis di Malaka. Pemimpin armada itu adalah Pati Unus yang bergelar Pangeran Sabrang Lor. Meski berteknologi sederhana, Demak mampu mengerahkan pasukan dan perbekalan dari utara Pulau Jawa menuju semenanjung Malaka.

Sejarah itu menggambarkan kehebatan armada niaga, keandalan manajemen transportasi laut, dan armada militer yang mumpuni dari beberapa kerajaan di nusantara yang mampu menyatukan wilayah luas dan disegani bangsa lain. Dengan armada niaga yang besar, kerajaan bersosialisasi dan membawa hasil alam sebagai komoditas perdagangan ke negeri lain. Dan untuk menjaga keamanan, kerajaan memiliki armada laut yang kuat.

Sayang, beberapa kerajaan besar itu jatuh bukan karena serangan lawan, tetapi karena "perang saudara". Kondisi itu dimanfaatkan kekuatan asing untuk menguasai wilayah ini. Dengan mempelajari kondisi kerajaan dan kultur penguasa di nusantara, kekuatan asing mampu menduduki negeri ini dengan menjauhkan penghidupan masyarakat dari laut. Masyarakat digiring untuk kembali menjadi petani. Lama-kelaman armada laut kerajaan menjadi kecil. Kesempatan ini dimanfaatkan kekuatan asing, seperti Portugis, Inggris, dan VOC, untuk ganti menguasai laut nusantara. Dengan terdesaknya raja-raja ke pedalaman dan dikuasainya berbagai pelabuhan oleh asing, sejak saat itu paradigma maritim kita diubah penjajah, menjadi bangsa agraris.

Bangsa pelaut

Sejarah menyakitkan itu dibaca para pejuang kemerdekaan Indonesia. Untuk itu, ketika bangsa ini baru mulai hidup di alam kemerdekaan, para pemimpin kita sadar atas kondisi geografis dan kejayaan masa lampau sebagai bangsa bahari.

Saat membuka Institut Angkatan Laut (IAL) tahun 1953 di Surabaya, Presiden Soekarno berpesan, "…usahakan penyempurnaan keadaan kita ini dengan menggunakan kesempatan yang diberikan oleh kemerdekaan. Usahakan agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya…, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos di kapal… bukan! tetapi bangsa pelaut dalam arti cakrawati samudra. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri ".

Hal ini dibuktikan Soekarno. Tahun 1960-an kekuatan Angkatan Laut Indonesia adalah yang terbesar di Asia Tenggara dengan komposisi 234 kapal perang terdiri dari sebuah kapal penjelajah (cruiser), 12 kapal selam, 7 kapal perusak (destroyer), 7 fregat, dan beberapa jenis kapal perang lain. Dalam usia kemerdekaan yang masih muda, para pemimpin telah memfokuskan kekuatan militer berdasarkan konstelasi geografis. Dengan kekuatan militer, bangsa ini mampu mengusir Belanda yang saat itu masih mempertahankan Irian Barat.

Mengapa Belanda meninggalkan Irian Barat tanpa pertempuran? Terlepas dari upaya diplomasi politik saat itu, jawaban kuatnya adalah kuat dan solidnya TNI, terutama kekuatan lautnya. Besarnya armada laut dengan persenjataan canggih saat itu, mampu mengangkut pasukan dalam jumlah besar, siap melaksanakan pertempuran laut. Maka, saat itu, Indonesia memiliki posisi tawar yang tinggi.

Seiring perjalanan waktu dan akibat kondisi ekonomi yang berbeda serta perhatian pada maritim berkurang membuat kekuatan laut kita mencapai antiklimaks. Peralatan alutsista rontok, menjadi besi tua. Armada niaga kita pun bernasib sama. Meski tak laik, dipaksa melaut sehingga kadang terjadi kecelakaan.

Menuju AL yang kuat

Kini keadaan relatif membaik. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, terutama Pasal 3 Ayat (2) menyatakan, pertahanan negara disusun dengan memerhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Artinya, pemimpin Indonesia menyadari, laut berikut segala aktivitas di dalamnya dapat menjadi tumpuan masa depan bangsa. Bagi TNI AL, ini merupakan tantangan, menjaga keamanan perairan dari gangguan ataupun ancaman kedaulatan. Untuk itu, dibutuhkan Angkatan Laut yang kuat dan upaya menuju ke arah itu telah dimulai.

Saat ini telah dibeli empat korvet kelas Sigma dari Belanda, sebuah kapal sudah tiba di Tanah Air, KRI Diponegoro-365, sisanya masih diselesaikan. Dari Korea juga telah datang dua kapal LPD, disusul segera dua lainnya yang masih dibangun. Meski anggaran menjadi kendala, dengan perencanaan yang baik mudah-mudahan kapal-kapal lain akan menyusul memperkuat kekuatan penjaga laut kita. Kita berharap perhatian dalam aspek maritim tidak hanya tertumpu pada pembangunan kekuatan angkatan laut, tetapi mampu mengembalikan Indonesia sebagai negara bahari.

Bangsa yang memiliki karakter bahari tidak harus diartikan bangsa yang sebagian besar masyarakatnya adalah nelayan, tetapi bangsa yang menyadari kehidupan masa depannya bergantung pada lautan. Intinya, selalu menoleh, menggali, dan memanfaatkan laut sebagai tulang punggung bangsa dan negara.

Laksamana Sumardjono Kepala Staf TNI Angkatan Laut

Sumber: Kompas


http://mashersant.wordpress.com/2009/05/18/nusantaraku/

Setelah raja Śri Kĕrtānegara gugur, kerajaan Singhasāri berada di bawah kekuasaan raja Jayakatwang dari Kadiri. Salah satu keturunan penguasa Singhasāri, yaitu Raden Wijaya, kemudian berusaha merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya. Ia adalah keturunan Ken Angrok, raja Singhāsāri pertama dan anak dari Dyah Lěmbu Tal. Ia juga dikenal dengan nama lain, yaitu Nararyya Sanggramawijaya. Menurut sumber sejarah, Raden Wijaya sebenarnya adalah mantu Kĕrtanāgara yang masih terhitung keponakan. Kitab Pararaton menyebutkan bahwa ia mengawini dua anak sang raja sekaligus, tetapi kitab Nāgarakertāgama menyebutkan bukannya dua melainkan keempat anak perempuan Kěrtanāgara dinikahinya semua. Pada waktu Jayakatwang menyerang Singhasāri, Raden Wijaya diperintahkan untuk mempertahankan ibukota di arah utara. Kekalahan yang diderita Singhasāri menyebabkan Raden Wijaya mencari perlindungan ke sebuah desa bernama Kudadu, lelah dikejar-kejar musuh dengan sisa pasukan tinggal duabelas orang. Berkat pertolongan Kepala Desa Kudadu, rombongan Raden Wijaya dapat menyeberang laut ke Madura dan di sana memperoleh perlindungan dari Aryya Wiraraja, seorang bupati di pulau ini. Berkat bantuan Aryya Wiraraja, Raden Wijaya kemudian dapat kembali ke Jawa dan diterima oleh raja Jayakatwang. Tidak lama kemudian ia diberi sebuah daerah di hutan Těrik untuk dibuka menjadi desa, dengan dalih untuk mengantisipasi serangan musuh dari arah utara sungai Brantas. Berkat bantuan Aryya Wiraraja ia kemudian mendirikan desa baru yang diberi nama Majapahit. Di desa inilah Raden Wijaya kemudian memimpin dan menghimpun kekuatan, khususnya rakyat yang loyal terhadap almarhum Kertanegara yang berasal dari daerah Daha dan Tumapel. Aryya Wiraraja sendiri menyiapkan pasukannya di Madura untuk membantu Raden Wijaya bila saatnya diperlukan. Rupaya ia pun kurang menyukai raja Jayakatwang.

Tidak terduga sebelumnya bahwa pada tahun 1293 Jawa kedatangan pasukan dari Cina yang diutus oleh Kubhilai Khan untuk menghukum Singhasāri atas penghinaan yang pernah diterima utusannya pada tahun 1289. Pasukan berjumlah besar ini setelah berhenti di Pulau Belitung untuk beberapa bulan dan kemudian memasuki Jawa melalui sungai Brantas langsung menuju ke Daha. Kedatangan ini diketahui oleh Raden Wijaya, ia meminta izin untuk bergabung dengan pasukan Cina yang diterima dengan sukacita. Serbuan ke Daha dilakukan dari darat maupun sungai yang berjalan sengit sepanjang pagi hingga siang hari. Gabungan pasukan Cina dan Raden Wijaya berhasil membinasakan 5.000 tentara Daha. Dengan kekuatan yang tinggal setengah, Jayakatwang mundur untuk berlindung di dalam benteng. Sore hari, menyadari bahwa ia tidak mungkin mempertahankan lagi Daha, Jayakatwang keluar dari benteng dan menyerahkan diri untuk kemudian ditawan oleh pasukan Cina.

Dengan dikawal dua perwira dan 200 pasukan Cina, Raden Wijaya minta izin kembali ke Majapahit untuk menyiapkan upeti bagi kaisar Khubilai Khan. Namun dengan menggunakan tipu muslihat kedua perwira dan para pengawalnya berhasil dibinasakan oleh Raden Wijaya. Bahkan ia berbalik memimpin pasukan Majapahit menyerbu pasukan Cina yang masih tersisa yang tidak menyadari bahwa Raden Wijaya akan bertindak demikian. Tiga ribu anggota pasukan kerajaan Yuan dari Cina ini dapat dibinasakan oleh pasukan Majapahit, selebihnya melarikan dari keluar Jawa dengan meninggalkan banyak korban. Akhirnya cita-cita Raden Wijaya untuk menjatuhkan Daha dan membalas sakit hatinya kepada Jayakatwang dapat diwujudkan dengan memanfaatkan tentara asing. Ia kemudian memproklamasikan berdirinya sebuah kerajaan baru yang dinamakan Majapahit. Pada tahun 1215 Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja pertama dengan gelar Śri Kĕrtarājasa Jayawardhana. Keempat anak Kertanegara dijadikan permaisuri dengan gelar Śri Parameśwari Dyah Dewi Tribhūwaneśwari, Śri Mahādewi Dyah Dewi Narendraduhitā, Śri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnyāparamitā, dan Śri Rājendradewi Dyah Dewi Gayatri. Dari Tribhūwaneśwari ia memperoleh seorang anak laki bernama Jayanagara sebagai putera mahkota yang memerintah di Kadiri. Dari Gayatri ia memperoleh dua anak perempuan, Tribhūwanottunggadewi Jayawisnuwardhani yang berkedudukan di Jiwana (Kahuripan) dan Rājadewi Mahārājasa di Daha. Raden Wijaya masih menikah dengan seorang isteri lagi, kali ini berasal dari Jambi di Sumatera bernama Dara Petak dan memiliki anak darinya yang diberi nama Kalagěmět. Seorang perempuan lain yang juga datang bersama Dara Petak yaitu Dara Jingga, diperisteri oleh kerabat raja bergelar ‘dewa’ dan memiliki anak bernama Tuhan Janaka, yang dikemudian hari lebih dikenal sebagai Adhityawarman, raja kerajaan Malayu di Sumatera. Kedatangan kedua orang perempuan dari Jambi ini adalah hasil diplomasi persahabatan yaang dilakukan oleh Kěrtanāgara kepada raja Malayu di Jambi untuk bersama-sama membendung pengaruh Kubhilai Khan. Atas dasar rasa persahabatan inilah raja Malayu, Śrimat Tribhūwanarāja Mauliwarmadewa, mengirimkan dua kerabatnya untuk dinikahkan dengan raja Singhasāri. Dari catatan sejarah diketahui bahwa Dara Jingga tidak betah tinggal di Majapahit dan akhirnya pulang kembali ke kampung halamannya.

Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 digantikan oleh Jayanāgara. Seperti pada masa akhir pemerintahan ayahnya, masa pemerintahan raja Jayanāgara banyak dirongrong oleh pemberontakan orang-orang yang sebelumnya membantu Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit. Perebutan pengaruh dan penghianatan menyebabkan banyak pahlawan yang berjasa besar akhirnya dicap sebagai musuh kerajaan. Pada mulanya Jayanāgara juga terpengaruh oleh hasutan Mahāpati yang menjadi biang keladi perselisihan tersebut, namun kemudian ia menyadari kesalahan ini dan memerintahkan pengawalnya untuk menghukum mati orang kepercayaannya itu. Dalam situasi yang demikian muncul seorang prajurit yang cerdas dan gagah berani bernama Gajah Mada. Ia muncul sebagai tokoh yang berhasil mamadamkan pemberontakan Kuti, padahal kedudukannya pada waktu itu hanya berstatus sebagai pengawal raja (běkěl bhayangkāri). Kemahirannya mengatur siasat dan berdiplomasi dikemudian hari akan membawa Gajah Mada pada posisi yang sangat tinggi di jajaran pemerintahan kerajaan Majapahit, yaitu sebagai Mahamantri kerajaan.

Pada masa Jayanāgara hubungan dengan Cina kembali pulih. Perdagangan antara kedua negara meningkat dan banyak orang Cina yang menetap di Majapahit. Jayanāgara memerintah sekitar 11 tahun, pada tahun 1328 ia dibunuh oleh tabibnya yang bernama Tanca karena berbuat serong dengan isterinya. Tanca kemudian dihukum mati oleh Gajah Mada.

Karena tidak memiliki putera, tampuk pimpinan Majapahit akhirnya diambil alih oleh adik perempuan Jayanāgara bernama Jayawisnuwarddhani, atau dikenal sebagai Bhre Kahuripan sesuai dengan wilayah yang diperintah olehnya sebelum menjadi ratu. Namun pemberontakan di dalam negeri yang terus berlangsung menyebabkan Majapahit selalu dalam keadaan berperang. Salah satunya adalah pemberontakan Sadĕng dan Keta tahun 1331 memunculkan kembali nama Gajah Mada ke permukaan. Keduanya dapat dipadamkan dengan kemenangan mutlak pada pihak Majapahit. Setelah persitiwa ini, Mahapatih Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal, bahwa ia tidak akan amukti palapa sebelum menundukkan daerah-daerah di Nusantara, seperti Gurun (di Kalimantan), Seran (?), Tanjungpura (Kalimantan), Haru (Maluku?), Pahang (Malaysia), Dompo (Sumbawa), Bali, Sunda (Jawa Barat), Palembang (Sumatera), dan Tumasik (Singapura). Untuk membuktikan sumpahnya, pada tahun 1343 Bali berhasil ia ditundukan.

Ratu Jayawisnuwaddhani memerintah cukup lama, 22 tahun sebelum mengundurkan diri dan digantikan oleh anaknya yang bernama Hayam wuruk dari perkawinannya dengan Cakradhara, penguasa wilayah Singhāsari. Hayam Wuruk dinobatkan sebagai raja tahun 1350 dengan gelar Śri Rajasanāgara. Gajah Mada tetap mengabdi sebagai Patih Hamangkubhūmi (mahāpatih) yang sudah diperolehnya ketika mengabdi kepada ibunda sang raja. Di masa pemerintahan Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai puncak kebesarannya. Ambisi Gajah Mada untuk menundukkan nusantara mencapai hasilnya di masa ini sehingga pengaruh kekuasaan Majapahit dirasakan sampai ke Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Maluku, hingga Papua. Tetapi Jawa Barat baru dapat ditaklukkan pada tahun 1357 melalui sebuah peperangan yang dikenal dengan peristiwa Bubat, yaitu ketika rencana pernikahan antara Dyah Pitalokā, puteri raja Pajajaran, dengan Hayam Wuruk berubah menjadi peperangan terbuka di lapangan Bubat, yaitu sebuah lapangan di ibukota kerajaan yang menjadi lokasi perkemahan rombongan kerajaan tersebut. Akibat peperangan itu Dyah Pitalokā bunuh diri yang menyebabkan perkawinan politik dua kerajaan di Pulau Jawa ini gagal. Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa setelah peristiwa itu Hayam Wuruk menyelenggarakan upacara besar untuk menghormati orang-orang Sunda yang tewas dalam peristiwa tersebut. Perlu dicatat bawa pada waktu yang bersamaan sebenarnya kerajaan Majapahit juga tengah melakukan eskpedisi ke Dompo (Padompo) dipimpin oleh seorang petinggi bernama Nala.

Setelah peristiwa Bubat, Mahāpatih Gajah Mada mengundurkan diri dari jabatannya karena usia lanjut, sedangkan Hayam Wuruk akhirnya menikah dengan sepupunya sendiri bernama Pāduka Śori, anak dari Bhre Wĕngkĕr yang masih terhitung bibinya.

Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk kerajaan Majapahit menjadi sebuah kerajaan besar yang kuat, baik di bidang ekonomi maupun politik. Hayam Wuruk memerintahkan pembuatan bendungan-bendungan dan saluran-saluran air untuk kepentingan irigasi dan mengendalikan banjir. Sejumlah pelabuhan sungai pun dibuat untuk memudahkan transportasi dan bongkar muat barang. Empat belas tahun setelah ia memerintah, Mahāpatih Gajah Mada meninggal dunia di tahun 1364. Jabatan patih Hamangkubhūmi tidak terisi selama tiga tahun sebelum akhirnya Gajah Enggon ditunjuk Hayam Wuruk mengisi jabatan itu. Sayangnya tidak banyak informasi tentang Gajah Enggon di dalam prasasti atau pun naskah-naskah masa Majapahit yang dapat mengungkap sepak terjangnya.

Raja Hayam Wuruk wafat tahun 1389. Menantu yang sekaligus merupakan keponakannya sendiri yang bernama Wikramawarddhana naik tahta sebagai raja, justru bukan Kusumawarddhani yang merupakan garis keturunan langsung dari Hayam Wuruk. Ia memerintah selama duabelas tahun sebelum mengundurkan diri sebagai pendeta. Sebelum turun tahta ia menujuk puterinya, Suhita menjadi ratu. Hal ini tidak disetujui oleh Bhre Wirabhūmi, anak Hayam Wuruk dari seorang selir yang menghendaki tahta itu dari keponakannya. Perebutan kekuasaan ini membuahkan sebuah perang saudara yang dikenal dengan Perang Parěgrěg. Bhre Wirabhumi yang semula memperoleh kemenanggan akhirnya harus melarikan diri setelah Bhre Tumapĕl ikut campur membantu pihak Suhita. Bhre Wirabhūmi kalah bahkan akhirnya terbunuh oleh Raden Gajah. Perselisihan keluarga ini membawa dendam yang tidak berkesudahan. Beberapa tahun setelah terbunuhnya Bhre Wirabhūmi kini giliran Raden Gajah yang dihukum mati karena dianggap bersalah membunuh bangsawan tersebut.

Suhita wafat tahun 1477, dan karena tidak mempunyai anak maka kedudukannya digantikan oleh adiknya, Bhre Tumapĕl Dyah Kĕrtawijaya. Tidak lama ia memerintah digantikan oleh Bhre Pamotan bergelar Śri Rājasawardhana yang juga hanya tiga tahun memegang tampuk pemerintahan. Bahkan antara tahun 1453-1456 kerajaan Majapahit tidak memiliki seorang raja pun karena pertentangan di dalam keluarga yang semakin meruncing. Situasi sedikit mereda ketika Dyah Sūryawikrama Giriśawardhana naik tahta. Ia pun tidak lama memegang kendali kerajaan karena setelah itu perebutan kekuasaan kembali berkecambuk. Demikianlah kekuasaan silih berganti beberapa kali dari tahun 1466 sampai menjelang tahun 1500. Berita-berita Cina, Italia, dan Portugis masih menyebutkan nama Majapahit di tahun 1499 tanpa menyebutkan nama rajanya. Semakin meluasnya pengaruh kerajaan kecil Demak di pesisir utara Jawa yang menganut agama Islam, merupakan salah satu penyebab runtuhnya kerajaan Majapahit. Tahun 1522 Majapahit tidak lagi disebut sebagai sebuah kerajaan melainkan hanya sebuah kota. Pemerintahan di Pulau Jawa telah beralih ke Demak di bawah kekuasaan Adipati Unus, anak Raden Patah, pendiri kerajaan Demak yang masih keturunan Bhre Kertabhūmi. Ia menghancurkan Majapahit karena ingin membalas sakit hati neneknya yang pernah dikalahkan raja Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Demikianlah maka pada tahun 1478 hancurlah Majapahit sebagai sebuah kerajaan penguasa nusantara dan berubah satusnya sebagai daerah taklukan raja Demak. Berakhir pula rangkaian penguasaan raja-raja Hindu di Jawa Timur yang dimulai oleh Keng Angrok saat mendirikan kerajaan Singhāsari, digantikan oleh sebuah bentuk kerajaan baru bercorak agama Islam.

Ironisnya, pertikaian keluarga dan dendam yang berkelanjutan menyebabkan ambruknya kerajaan ini, bukan disebabkan oleh serbuan dari bangsa lain yang menduduki Pulau Jawa.


Selasa, 11 Agustus 2009

Peta Sektor Pertambangan di Indonesia

Dalam dunia pertambangan, Indonesia memang dikenal sebagai negara yang kaya dengan kandungan mineral yang siap diangkat kapan saja. Meskipun Indonesia menempati posisi produsen terbesar kedua untuk komoditas timah, posisi terbesar keempat untuk komoditas tembaga, posisi kelima untuk komoditas nikel, posisi terbesar ketujuh untuk komoditas emas, dan posisi kedelapan untuk komoditas batubara, tetap saja terbelit beban utang yang tidak sedikit dan rasio orang miskinnya pun mencapai 17 juta jiwa. Kekayaan tambang Indonesia yang sudah dikeruk puluhan tahun ternyata hanya menghasilkan 11 persen dari pendapatan ekspor dan menyumbang 2,5 dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).

Sumber daya mineral sebagai salah satu kekayaan alam yang dimiliki Bangsa Indonesia, apabila dikelola dengan baik akan memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi Negara. Dalam hal ini, Pemerintah sebagai penguasa sumber daya tersebut, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, harus mengatur tingkat penggunaannya untuk mencegah pemborosan potensi yang dikuasainya dan dapat mengoptimalkan pendapatan dari pengusahaan sumber daya tersebut sehingga dapat diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Manfaat yang diperoleh Bangsa Indonesia sebagai pemilik kekayaan sumber daya mineral, dari pengusahaan sumber daya tersebut di antaranya dalam bentuk Iuran Eksplorasi/Iuran Ekplorasi/Royalti yaitu pembayaran kepada Pemerintah sehubungan dengan pemanfaatan kandungan mineral yang berasal dari suatu wilayah pertambangan yang diusahakan sehingga pengusaha memperoleh kesempatan untuk menikmati hasil dari kandungan mineral tersebut.

Sektor pertambangan dan energi merupakan sektor andalan yang menyediakan sumber energi, bahan baku industri dan sumber penerimaan negara.

Pada tahun 1980-an pangsa sektor pertambangan memberikan sumbangan yang tertinggi karena pada saat itu Indonesia mengalami oil boom dimana kenaikan produksi pertambangan, khususnya migas dan juga diikuti dengan tingginya harga minyak internasional. Setelah era oil boom sampai dengan saat ini, pangsa dan pertumbuhan sektor pertambangan khususnya migas cenderung menurun, sementara konsumsi energi dalam negeri terus mengalami kenaikan. Sehingga ketergantungan terhadap impor juga cenderung meningkat. Meskipun demikian, sektor non migas justru mengalami peningkatan secara perlahan bahkan cukup potensial untuk menigkatkan kinerja sektor pertambangan secara umum.

Konsumsi energi final di Indonesia mayoritas berasal dari BBM kemudian disusul oleh gas bumi, listrik, batubara dan LPG. Dalam perkembangannya sumbangan BBM sebagai sumber energi semakin menurun sementara sumbangan batubara semakin menigkat sedangkan lainnya relaif tetap. Sehingga untuk kedepan peranan batubara kedepan sebagai penyedia energi dapat ditingkatkan dan dapat dijadikan sebagai alternatif atas penurunan peranan BBM.

Potensi pertambangan non migas (mineral) yang cukup menjanjikan ditunjukkan oleh hasil penelitian Fraser Institute yang menyatakan bahwa prospek mineral di Indonesia menduduki peringkat 6 (enam) teratas di dunia. Dan potensi ini juga didukung oleh kinerjanya produksi dan ekspor yang terus meningkat dengan tingkat efisiensi yang cukup tinggi. Sektor pertambangan juga diperkirakan memiliki keterkaitan (linkage) yang erat dengan sektor lain, baik derajat kepekaan (backward linkage) maupun daya kepekaan (forward linkage). Di sisi lain sektor pertambangan merupakan sektor yang memiliki produktivitas tenaga kerja yang tertinggi dibandingkan sektor lainnya.

Namun demikian sektor pertambangan dikhawatirkan akan menghadapi kesulitan dalam mempertahankan kelangsungannya dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan tidak adanya investasi baru yang cukup signifikan di sektor pertambangan, tanpa eksplorasi dan penemuan baru beberapa tahun ke depan produksi dikhawatirkan akan menurun.

Oleh karena itu pemetaan di sektor pertambangan ini penting dilakukan mengingat peranannya yang penting dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi Indonesia dan sebagai sumber energi di Indonesia.

* Home * About * Bala Tentara Potensi Tambang Indonesia No 6 Terkaya di Dunia

Berikut ini adalah isi Kuliah umum Universitas Hasanuddin, Makassar, Selasa (10/2) :

Presiden Direktur & CEO PT International Nickel Indonesia Tbk (PT Inco), Arif S. Siregar mengatakan, potensi tambang Indonesia berada di posisi nomor enam terkaya di dunia.

Namun dari segi kebijakan, Indonesia nomor dua paling bawah, sedikit di atas Zimbabwe. Ini merupakan hasil penelitian Fraser Institute tahun 2008.

Hal itu dikemukakan Arif di Gedung Pertemuan Ilmiah, Kampus Universitas Hasanuddin, Makassar, Selasa (10/2).

Hadir pula Senior Vice President and General Counsel PT Inco, Nurman Djumiril, dan Direktur External Relations PT Inco, Edi Permadi, sedangkan moderator Prof Dr Abrar Saleng, Guru Besar Fakultas Hukum Unhas dan Ketua Jurusan Teknik Geologi Unhas, Ir Jamal.

Kuliah umum diikuti para mahasiswa teknik, hukum serta dari fakultas ilmu sosial, dan ilmu politik.

“Daya tarik Indonesia di mata investor menempati ranking ke 62 dari 68 negara, sementara Brasil menduduki ranking 39,” ungkap Arif, yang juga Ketua Indonesia Mining Association (IMA).

Namun, lanjutnya, mengapa Indonesia tidak maju?. Sementara meskipun tidak se-kaya Indonesia sumber daya alamnya, tetapi beberapa negara justru lebih dikenal maju industri pertambangannya seperti Australia, Brasilia, atau Afrika Selatan.

Dari segi statistik, lanjutnya, ada sekitar 200 lebih perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia. “Ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama, kenapa Indonesia tidak populer di mata investor. Padahal dari segi keamanan dan stabilitas politik Indonesia cukup bagus.”

Menurut Arif, mungkin ada beberapa hal yang menjadi kendala seperti hasil penelitian Fraser Institute dari Survey of Mining Companies 2007-2008.

Hasil penelitian di 68 negara itu menyebutkan ada persoalan administration uncertainty (ranking 57), environment regulations (42), legal uncertainty (57), forestry uncertainties dari segi natural parks (50), mineral prospect dari segi existing climate (ranking 48 dari 68 negara).

Banyak kalangan menganggap sumber daya mineral disimpan sekarang untuk anak cucu nanti. Tetapi menurutnya, pada batas tertentu itu benar. Namun, kalau tidak dimanfaatkan sekarang, generasi seperti apa yang diharapkan muncul pada masa mendatang. Karena komoditi mineral seperti komoditas lain. Hari ini laku, tetapi belum tentu laku di masa mendatang.

Begitu juga hari ini tidak laku, belum tentu di masa depan sumber daya mineral ini tidak laku. Komoditas ini mengikuti hukum ekonomi dalam hal penawaran dan permintaan.

Arif menyarankan agar manfaatkan sekarang yang hasilnya antara lain untuk membangun kualitas pendidikan yang bagus sehingga generasi berikut yang muncul adalah generasi yang unggul dari segi kualitas pengetahuan dan keterampilan. Seperti Jepang, yang tidak punya banyak sumber daya alam, namun dengan kualitas manusianya yang bagus bisa membeli sumber daya alam negara lain, ujarnya.

Industri pertambangan, kini tidak hanya business of extracting minerals, tapi juga bisnis untuk memenuhi kepuasan dan kepentingan para pemangku kepentingan, mulai dari tingkat lokal hingga ke pemerintah pusat. “Industri pertambangan itu padat modal dengan risiko besar, pengembalian modal lama, bisa mencapai 20 tahunan. Biasanya dari 10 eksplorasi daerah, hanya satu yang berhasil, untuk itu, manfaatkan seoptimal mungkin untuk kesejahteraan dan kemajuan bangsa,” katanya.

Menjawab pertanyaan mahasiswa, Arif menegaskan ulang bahwa tidak ada emas di tambang Inco. “Nikel itu padanannya dengan cobalt. Jadi saya tegaskan kembali karena saya sering ditanya orang mengenai ini bahwa tidak ada emas di tambang Inco. Emas itu padanannya tembaga.” katanya.

Mengenai Undang-Undang Mineral yang baru disahkan, memang masih banyak hal yang harus dibenahi, misalnya tidak boleh ekspor. “Ini harus dilihat kasus per kasus dulu, tidak digeneralisir,” demikian Arif.

Pengelolaan Sumber Daya Alam Menurut Syariah

Sumber Daya Alam dalam Perspektif Islam

Jika kita hendak memasuki wilayah pembahasan sistem ekonomi, maka pembahasan awal yang paling penting untuk dijawab adalah menyangkut pandangannya terhadap keberadaan seluruh sumber daya yang ada di dunia ini. Demikian juga dalam pembahasan sistem ekonomi Islam, kita harus memahami terlebih dahulu bagaimana pandangan sistem ekonomi Islam dalam memandang masalah sumber daya ini.

Dalam pandangan sistem ekonomi Islam, harta kekayaan yang ada di bumi ini tidaklah bebas untuk dimiliki oleh individu, sebagaimana yang ada dalam pemahaman sistem ekonomi kapitalisme. Sebaliknya juga tidak seperti dalam pandangan sistem ekonomi sosialisme, yang memandang bahwa harta kekayaan yang ada di bumi ini harus dikuasai oleh negara. Di dalam sistem ekonomi Islam, status kepemilikan terhadap seluruh harta kekayaan yang ada di bumi ini dapat dikategorikan dalam 3 kelompok, yaitu:

Pertama: Kepemilikan individu, yaitu hukum syara’ yang berlaku bagi zat atau manfaat tertentu, yang memungkinkan bagi yang memperolehnya untuk memanfaatkannya secara langsung atau mengambil kompensasi (iwadh) dari barang tersebut.

Kedua: Kepemilikan umum, yaitu ijin Asy-Syari’ kepada suatu komunitas untuk bersama-sama memanfaatkan suatu benda.

Ketiga:Kepemilikan negara, yaitu harta yang tidak termasuk kategori milik umum melainkan milik individu, namun barang-barang tersebut terkait dengan hak kaum muslimin secara umum.

Dari pembagian kepemilikan dalam ekonomi Islam tersebut, maka yang menjadi pertanyaan adalah, dimana posisi sumber daya alam seperti pertambangan, energi, hutan, air dsb? Jawabnya adalah masuk kategori yang kedua, yaitu kepemilikan umum. Pendapat ini dapat difahami berdasarkan pada dalil Hadits yang berasal dari Imam At-Tirmidzi yang meriwayatkan hadits dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia telah meminta kepada Rasul untuk mengelola tambang garamnya, lalu Rasul memberikannya. Setelah dia pergi, ada seorang laki-laki dari majlis tersebut bertanya:

“Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian bersabda: “Tariklah tambang tersebut darinya”.

Ma’u al-‘iddu adalah air yang tidak terbatas jumlahnya. Hadis tersebut menyerupakan tambang garam garam dengan air yang mengalir, karena jumlahnya tidak terbatas. Hadits ini menjelaskan bahwa Rasullah SAW memberikan tambang garam kepada Abyadh. Hal itu menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam jika tambangnya kecil. Namun, tatkala beliau tahu bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang besar (seperti air yang mengalir), maka beliau mencabut pemberiannya dan melarang dimiliki oleh pribadi, berarti tambang tersebut merupakan milik umum.

Dalam hadits tersebut, yang dimaksudkan bukan hanya garamnya itu sendiri, melainkan tambangnya. Hal itu berdasarkan bukti, bahwa ketika Rasul SAW mengetahui bahwa tambang tersebut tidak terbatas jumlahnya, maka beliau mencegahnya, sementara itu beliau sejak awal sudah mengetahui bahwa itu merupakan garam yang diberikan kepada Abyadh. Dengan demikian, pencabutan tersebut bukan karena garam, tetapi karena tambang yang tidak terbatas jumlahnya. Abu Ubaid memberi komentar terhadap Hadits ini dengan penjelasan sebagai berikut:

“Adapun pemberian Nabi SAW kepada Abyadh bin Hambal terhadap tambang garam yang terdapat di daerah Ma’rab, kemudian beliau mengambilnya kembali dari tangan Abyadh, sesungguhnya beliau mencabutnya semata karena menurut beliau tambang tersebut merupakan tanah mati yang dihidupkan oleh Abyadh lalu dia mengelolanya. Ketika Nabi SAW mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabutnya kembali, karena sunnah Rasulullah SAW dalam masalah padang, api dan air menyatakan bahwa semua manusia berserikat dalam masalah tersebut, maka beliau melarang bagi seseorang untuk memilikinya, sementara yang lain tidak dapat memilikinya”.

Apabila garam tersebut termasuk dalam kategori tambang, maka pencabutan kembali Rasul terhadap pemberian beliau kepada Abyadh tersebut dianggap sebagai illat ketidakbolehan dimiliki individu, di mana garam tersebut merupakan tambang yang tidak terbatas jumlahnya, bukan karena garamnya itu sendiri yang tidak terbatas jumlahnya. Dari hadits di atas nampak jelas bahwa illat larangan untuk tidak memberikan tambang garam tersebut adalah karena tambang tersebut mengalir, yakni tidak terbatas.

Lebih jelas lagi berdasarkan riwayat dari Amru bin Qais, bahwa yang dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam, di mana beliau mengatakan: “ma’danul milhi” (tambang garam). Maka dengan meneliti pernyataan ahli fiqih, menjadi jelaslah bahwa mereka telah menjadikan garam termasuk dalam kategori tambang, sehingga hadits ini jelas terkait dengan tambang, bukan dengan garam itu sendiri secara khusus.

Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa Rasulullah telah memberikan tambang kepada Bilal bin Harits Al Muzni dari kabilahnya, serta hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid dalam kitab Al Amwal dari Abi Ikrimah yang mengatakan: “Rasulullah saw.memberikan sebidang tanah ini kepada Bilal dari tempat ini hingga sekian, berikut kandungan buminya, baik berupa gunung atau tambang,” sebenarnya tidak bertentangan dengan hadits dari Abyadh, melainkan mengandung pengertian bahwa tambang yang diberikan oleh Rasulullah kepada Bilal adalah terbatas, sehingga boleh diberikan. Sebagaimana Rasulullah pertama kalinya memberikan tambang garam tersebut kepada Abyadh dan tidak boleh diartikan sebagai pemberian tambang secara mutlak, sebab jika diartikan demikian tentu bertentangan dengan pencabutan Rasul terhadap tambang yang telah beliau ketahui bahwa tambang tersebut mengalir dan besar jumlahnya. Jadi jelaslah bahwa kandungan tambang yang diberikan Rasulullah tersebut bersifat terbatas.

Hukum tambang yang tidak terbatas jumlahnya adalah milik umum, juga meliputi semua tambang, baik tambang yang nampak yang bisa diperoleh tanpa harus susah payah, yang bisa didapatkan oleh manusia, serta bisa mereka manfaatkan, semisal garam, antimonium, batu mulia dan sebagainya; ataupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh selain dengan kerja dan susah payah semisal tambang emas, perak, besi, tembaga, timah dan sejenisnya. Baik berbentuk padat, semisal kristal ataupun berbentuk cair, semisal minyak tanah, maka semuanya adalah tambang yang termasuk dalam pengertian hadits di atas.

Sedangkan menurut pendapat Al-‘Assal & Karim dengan mengutip pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitabnya Al-Mughni mengatakan:

“Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya, seperti halnya garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleum, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum muslimin, sebab hal itu akan merugikan mereka”.

Maksud dari pendapat Ibnu Qudamah adalah bahwa barang-barang tambang adalah milik orang banyak meskipun diperoleh dari tanah hak milik khusus, maka barang siapa menemukan barang tambang atau petroleum pada tanah miliknya tidak halal baginya untuk memilikinya dan harus diberikan kepada negara untuk mengelolanya.

Sedangkan untuk SDA yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti sumber daya air, sumber daya energi, sumber daya hutan dsb, maka ada dalil lain yang menunjukan bahwa sumber daya itu masuk kategori kepemilikan umum. Dalilnya dapat dilihat dari sabda Rasulullah SAW:

«اَلنَّاسُ شُرَكَاءُ فِي الثّلاَثِ: فِي الْمَاءِ وَ الْكَلاَءِ وَ النّارِ»

Manusia itu berserikat (punya andil) dalam tiga perkara, yaitu: air, padang rumput, dan api (BBM, gas, listrik, dsb). (HR Ahmad dan Abu Dawud).

Dalam Hadits di atas, selain menyebut air, padang rumput, Rasul SAW juga menyebut lafadz api, yang dimaksudkan adalah energi, seperti: listrik, BBM, gas, batubara, nuklir dsb. Dengan demikian, berbagai sumber daya yang disebut dalam Hadits di atas adalah masuk dalam kategori kepemilikan umum. Apa konsekuensinya? Konsekuensinya akan dibahas dalam politik ekonomi dari pengelolaan sumber daya alam tersebut.

Politik Ekonomi Sumber Daya Alam Islam

Setelah kita memahami bahwa sumber daya alam ternyata masuk dalam kategori kepemilikian umum, maka kita harus memiliki pandangan dengan tegas bahwa rakyatlah yang sesungguhnya menjadi pemilik hakiki sumber daya tersebut. Kepemilikan ini tidak bisa berpindah lagi, baik berpindah kepada negara, kepada swasta, apalagi kepada swasta luar negeri.

Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah, jika sumber daya alam termasuk kepemilikan umum, siapa yang harus mengelolanya? Jawaban menurut perspektif politik ekonomi Islam adalah negara. Namun, yang tetap harus diingat adalah bahwa tugas negara hanyalah mengelola, bukan memiliki. Tanggung jawab negara adalah mengelola seluruh sumber daya alam itu untuk digunakan sepenuhnya bagi kemakmuran rakyatnya.

Bagaimana jika negara menjual komoditas tersebut kepada rakyatnya? Jawaban dari pertanyaan ini dapat dilihat dari kelanjutan Hadits di atas. Dari Hadits di atas ada kalimat tambahan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Anas dari Ibnu Abbas, yang berbunyi: wa tsamanuhu haromun (dan harganya adalah haram). Maknanya adalah mengambil tsaman yaitu keuntungan dari harga yang diambil dengan menjual ketiga komoditas tersebut hukumnya adalah haram. Ketentuan tersebut masih dengan catatan, jika dalam pengelolaan tersebut negara harus terkena beban biaya produksi, maka negara bisa menjual komoditas tersebut kepada rakyat dengan harga sebatas beban biaya produksi tersebut.

Sebagai contoh adalah sebagaimana yang telah dikalkulasi oleh Kwik Kian Gie (Mantan Menko Ekuin) terhadap harga beban biaya produksi BBM di Indonesia. Menurut Kwik, biaya pemompaan (lifting), pengilangan dan transportasi, dari minyak mentah sampai menjadi BBM yang siap dijual di pompa-pompa bensin, ternyata hanya sebesar 10 dolar AS per barel. Jika nilai tukar rupiah adalah Rp. 10.000 per dolar AS, maka biaya produksi hanya sebesar Rp. 630 per liternya (1 barel sama dengan 150 liter).

Dengan demikian, jika ketentuan ekonomi Islam ini diterapkan, maka rakyat Indonesia bisa menikmati harga bensin sebesar Rp. 630 per liternya. Jika untuk kebutuhan konsumsi rakyatnya masih ada sisa, maka negara dapat mengekspornya dengan harga sebagaimana harga minyak dunia, kemudian keuntungannya harus diberikan kembali kepada rakyatnya, sebagai pemilik hakiki dari komoditas tersebut. Pengembalian keuntungan tersebut dapat diberikan dalam bentuk yang tidak langsung, seperti dalam wujud pendidikan dan kesehatan yang gratis. Demikian